Pertanyaan:
Apakah seorang hamba mukmin dapat melihat Allah di dalam mimpi? Benarkah bahwa Imam Ahmad melihat Allah di dalam mimpi sampai ratusan kali?
Jawaban:
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjawab soal ini dalam Fatawanya. Setelah beliau menjelaskan permasalahan apakah Nabi melihat Allah ketika mi’raj, beliau menyimpulkan, “Kesimpulannya, bahwa semua hadits yang di dalamnya terdapat kalimat ‘bahwa Nabi melihat Rabbnya dengan mata kepala di bumi’, ‘bahwa kebun-kebun surga termasuk langkah-langkah kebenaran’, dan ‘bahwa beliau menginjak batu besar Baitul Maqdis”, semua ini adalah dusta menurut kesepakatan ulama kaum muslimin dari kalangan ahli hadits dan selain mereka.
Demikian pula, setiap orang yang mengaku melihat Allah dengan mata kepalanya sebelum mati, maka klaimnya batil menurut ahlus sunnah wal jamaah. Ahlus sunnah wal jama’ah telah bersepakat bahwa orang mukmin mana pun tidak dapat melihat Rabbnya dengan kedua mata kepalanya ketika dia hidup.
Hal tersebut telah dinyatakan dalam Shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an dari Nabi, ketika beliau menyebut Dajjal, beliau berkata, ‘Ketahuilah oleh kalian, bahwa tidak seorang pun dari kalian yang dapat melihat Rabbnya sampai dia meninggal.’
Begitu pula, diriwayatkan dari Nabi, dengan redaksi lain, bahwa beliau memperingatkan umatnya dari fitnah Dajjal, dan beliau menjelaskan bahwa tidak seorang pun dari mereka yang akan melihat Rabbnya sampai mati. Maka, jangan ada seseorang yang menyangka bahwa Dajjal yang dilihatnya adalah Rabbnya.
Akan tetapi, peristiwa yang terjadi pada orang-orang yang memiliki keimanan yang sejati, berupa keyakinan hati kepada Allah dan keyakinan hati, maka penyaksian dan penampakan ma’rifat tersebut berada pada tingkatan yang berbeda-beda.
Ketika Nabi ditanya oleh Jibril tentang ihsan, beliau menajwab, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kadang-kadang pula, orang mukmin melihat Rabbnya dalam mimpi dalam bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan kadar keimanan dan keyakinannya. Bila imannya benar maka akan melihat dalam bentuk yang baik, dan jika imannya kurang maka akan melihat sesuai dengan kadar imannya itu.
Melihat dalam mimpi tidak seperti melihat ketika sadar. Mimpi ini memiliki takwil dan takbir (pengungkapan) karena di dalamnya terdapat permisalan-permisalan dari kenyataan yang ada.
Kadangkala, sebagian orang yang tidak tidur mendapati penglihatan yang mirip dengan mimpi orang yang tidur. Maka, dia akan melihat dengan isi hatinya semisal apa yang dilihat dalam mimpi, dan kadang akan tampak padanya kebenaran-kebenaran yang dia saksikan dengan hatinya. Ini semua terjadi di dunia.
Terkadang, seseorang dikuasai oleh penglihatan hati dan inderanya, lantas diamenyangka bahwa dia melihat Rabbnya dengan mata kepalanya. Sampai dia bangun dan tahu bahwa ternyata yang dilihatnya tadi adalah mimpi.
Terkadang pula, dia mengetahui dalam tidurnya bahwa dia bermimpi. Begitulah hal yang diperoleh orang-orang yang tekun beribadah, berupa musyahadah (penyaksian) hati yang menguasai dirinya sampai tidak merasakan rasa inderawi-nya. Dia menyangka bahwa itu penglihatan mata telanjang, tetapi ternyata dia salah. Semua orang yang tekun beribadah, baik dari generasi awal atau akhir, yang berkata bahwa dia melihat Rabbnya dengan mata kepalanya adalah orang yang tersalah menurut kesepakatan ahli ilmi dan iman.
Benar bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah dengan mata telanjang di surga. Hal ini juga dialami oleh manusia di pelataran hari kiamat, seperti telah banyak diriwayatkan hadits dari Nabi, yaitu sabda beliau (yang artinya),“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat matahari di tengah hari tidak terhalangi oleh awan, dan seperti melihat bulan purnama di kala langit cerah tanpa awan.’” (Majmu’ Fatawa: 3/389–390)
Syekh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan pula, “Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan selainnya telah menyebutkan bahwa seseorang dimungkinkan melihat Allah dalam mimpi. Namun yang dilihatnya bukan hakikat Allah yang sebenarnya, karena tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Qs.asy-Syura: 11)
Maka, tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai Allah. Oleh karena itu, jika dia dapat melihat Allah dalam mimpi, bahwa Allah berbicara kepadanya, maka bagaimana pun bentuk yang dia lihat itu bukan wujud Allah ‘Azza wa Jalla, karena tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan tidak ada pula yang setara.
Syekh Taqiyuddin menyebutkan hal ini, bahwa keadaan melihat Allah berbeda-beda sesuai dengan keadaan orang yang melihat. Jika orang tersebut adalah orang yang paling shalih dan paling dekat dengan kebaikan, maka penglihatannya lebih mendekati kebenaran dan kenyataan. Namun, wujud-Nya tidak dalam bentuk atau sifat yang dilihat oleh orang tersebut, karena pada hakikatnya tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah.
Mungkin saja terdengar suara, ‘Begini dan lakukan ini!’, tetapi di sana tidak ada wujud yang terlihat yang serupa dengan makhluk, karena tidak ada yang serupa dan semisal dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau melihat Allah dalam mimpi. Dari hadits Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabbnya. Pada beberapa jalan (sanad) dikatakan bahwa beliau melihat Rabbnya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan tangan-Nya antara dua pundak Nabi, sehingga beliau merasakan rasa dingin di dada. Al-Hafidz Ibnu Rajab telah menulis kitab dalam masalah ini, yang dinamakan ‘Ikhtiyarul Aula fi Syarhi Hadits Ikhtishamil Mala’il A’la’.
Ini menunjukkan bahwa para nabi kadang-kadang melihat Rabb mereka dalam mimpi. Adapun melihat Allah di dunia dengan mata kepala adalah hal yang tidak mungkin. Nabi telah menginformasikan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melihat Rabbnya sampai dia mati. Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya. Ketika beliau ditanya, ‘Apakah engkau melihat Rabbmu?’ Jawab beliau, ‘Aku melihat cahaya.’ Dalam lafal lain, ‘Ada cahaya, bagaimana aku dapat melihatNya!’ Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Dzar.
Aisyah telah ditanya tentang hal ini, lantas beliau menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang melihat-Nya di dunia, karena melihat Allah di akhirat nanti merupakan nikmat paling besar bagi orang mukmin. Ini tidak didapatkan, kecuali bagi penduduk surga dan orang yang beriman di akhirat nanti. Demikian pula, ketika di pelataran kiamat.
Sedangkan dunia adalah kampung ujian dan cobaan dan kampung orang-orang yang jelek dan baik. Tempat bersama bagi orang-orang tersebut bukan tempat untuk melihat, karena melihat merupakan nikmat terbesar bagi yang melihat. Maka nikmat tersebut disembunyikan oleh Allah bagi para hamba-Nya yang beriman di kampung yang mulia dan di hari akhir.
Adapun melihat Allah yang diklaim banyak orang, maka berbeda-beda sesuai dengan siapa orang yang melihat, seperti dikatakan oleh Syekhul Islam. Sesuai dengan keshalihan dan takwanya. Kadang orang itu terkhayal melihat Allah, padahal tidak, karena setan kadang-kadang menampak pada mereka dan mereka menyangka itu adalah Rabb.
Seperti dikisahkan bahwa setan menampakkan dirinya kepada Abdul Qadir Jailani bahwa setan tersebut berada di atas Arsy yang berada di atas air. Setan itu berkata, ‘Aku Rabbmu, aku telah membebaskan kamu dari beban syariat.’ Maka, Syekh Abdul Qadir berkata, ‘Celaka engkau, wahai musuh Allah! Kamu bukan Rabbku, karena perintah Rabbku tidak gugur terhadap orang-orang mukallaf,’ atau perkataan serupa.
Maksudnya, bahwa melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika seseorang sedang tidak tidur merupakan hal yang tidak diperoleh seorang pun selama di dunia, bahkan para nabi sekalipun. Seperti telah berlalu penyampaiannya pada hadits Abu Dzar, dan yang ditunjukkan pula oleh firman Allah kepada Musa ketika dia memohon untuk melihat Allah, maka Allah menjawab,
لَنْ تَرَانِي
“Engkau tidak dapat melihat-Ku.” (Qs. Al-A’raf: 143)
Akan tetapi, terkadang para nabi dan orang-orang shalih dapat melihat Allah dalam mimpi, dalam bentuk yang tidak serupa dengan makhluk-Nya, seperti telah berlalu penyampaiannya dalam hadits Abu Dzar. Maka, jika sosok yang dilihatnya dalam mimpi itu memerintahkan sesuatu yang menyelisihi syariat ini, maka itu adalah pertanda bahwa dia tidak melihat Rabbnya, tetapi dia melihat setan.
Andaikan dia melihat, lantas yang dilihat berkata, ‘Kamu jangan shalat, aku telah bebaskan kamu dari beban syariat!’, atau berkata, ‘Tidak wajib atasmu zakat, atau tidak wajib atasmu berpuasa Ramadhan, kamu tidak wajib berbakti kepada orangtua, atau tidak ada dosa jika kamu makan riba’. Semua ini dan yang semisalnya merupakan tanda bahwa dia melihat setan, bukan Rabb.
Adapun berita bahwa Imam Ahmad melihat Rabbnya, maka berita itu tidak diketahui kebenarannya. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa beliau melihat Rabbnya, namun pendapat tersebut tidak diketahui kebenarannya.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Baz: 6/463–465)
Sumber: Majalah Al-Furqon, edisi 7, tahun ke-4, 1426 H.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
🔍 Keutamaan Umrah Di Bulan Ramadhan, Said Aqil Siradj Syiah, Khodam Malaikat Menurut Islam, Senam Muslim, Undangan Khitanan Sederhana, Urutan Terjadinya Kiamat